Hai, Agustus.

Hai, Agustus. 
Terima kasih, awal-mu mendatangkan cinta yang tidak pernah aku rasakan. Namun, kerap kali kamu juga yang meninggalkan.

---------

Bertemu denganmu adalah syukur dan proses pendewasaan yang sudah punya cerita di bagian tertentu hidupku. Walaupun hanya sekadar komunikasi, dipisahkan oleh jarak dan waktu. Barangkali kamu membaca ini dengan kebetulan atau tidak kebetulan kuharap kamu mengerti, aku sama sekali tidak ingin membuat kita utuh lagi. Karena semenjak kamu memilih pergi hari itu, aku telah memutuskan untuk melanjutkan tualang tanpamu.

Kamu meninggalkanku saat jatuhku betul-betul susah berdiri. Banyak ketidakadilan yang kudapatkan saat kejadian itu. Ucap-ucap rindu yang pernah terjadi sempat membuatku sembuh walau pada akhirnya kamu memilih abai.

Aku berusaha tumbuh setiap harinya. Kukalahkan segala hal yang membuatku tak baik-baik. Sulit sekali rasanya ketika semesta mengalahkan usahaku untuk memperjuangkanmu. Aku dibunuh debar-debar bersalah. Apa yang membuatmu suka pergi tanpa alasan? Apa yang membuatmu enggan menjelaskan kesalahapahaman kita? Aku maha penasaran hari itu. 

Tapi sesekali aku menipu diriku. Kubilang aku mampu melakukan apa saja yang membuatku bahagia. Jika kamu bisa, mengapa aku tidak? Hasilnya harus sama-sama mampu. Aku melakukan hal-hal yang membuatku bernyawa. Belajar, bekerja, tertawa, seperti orang yang baru putus cinta dan mengharap kuat.

Tidak langsung sampai pada tujuan, beberapa kali kakiku tak kuat bertumpu. Aku kehilangan warasku, menyalahkan apa saja yang membuat kita pisah. Waktu itu aku dihajar atas pernyataan kamu sudah punya seseorang. Sulit untuk kupahami bagaimana ini bisa terjadi.

Kita sudah sungguhan selesai. Agustus akan selalu terlewat tanpa ada arti. Segala-galanya sudah kandas dan tidak akan pernah menuju kata serius.

Setelahmu, aku sempat lupa mencintai diriku. 

Setelahmu juga, Agustus mengajariku banyak hal yang kukira tak mampu. Mataku dipejamkan, diajak berdialog dari hati ke hati. Dituntun menerima kebenaran, dihadapkan pada nyata yang tidak bercampur mimpi. Kamu bukan rumahku. Kamu bukan tempatku mengadu lebih sungguh. Kitalah jalan-jalan putus itu, yang tidak akan pernah sampai pada kata sudah sampai pada rencana.

Sekarang aku sudah di sini, mengaku dan jujur pada hatiku. Ketika setelahmu tubuhku sudah banyak memaafkan atas diri yang tak sempat tidak mau dimaafkan. Bahagialah selalu.



Komentar